Demokrasi di Indonesia secara prosedural telah berjalan dengan baik. Proses Pemilihan Umum (Pemilu) yang dilakukan secara langsung menjadi indikator utamanya.
Namun, Pemilu yang dilaksanakan secara langsung ini masih menyisakan masalah, yaitu praktik politik yang transaksional.
Ketua Bawaslu RI, Abhan, S.H., M.H., saat diwawancari tim redaksi Klik Magazine di kantor Bawaslu RI pada Selasa (16/03/2021), mengungkapkan bahwa praktik politik yang transaksional ini menjadi embrio dari sikap korup para pemenang Pemilu.
“Politik transaksional itu misalnya mahar politik, hal ini memang sulit dibuktikan tetapi di publik sering muncul. Hal ini nantinya akan membebani dalam proses kandidasi dan membebani calon yang terpilih. Kalau di masyarakat ya politik uang,” kata Abhan.
Ketika telah terjadi politik transaksional, Abhan menyebutkan tiga hal yang akan dilakukan oleh pemenang pemilu. “Yang pertama adalah bagaimana mengembalikan modal, yang kedua bagaimana cari untung, dan yang ketiga cari modal untuk maju di periode berikutnya”.
Menurut Abhan, praktik politik yang transaksional itu sebenarnya sudah menjadi rahasia umum, namun dalam penindakan, praktik ini sulit untuk dibuktikan.
Abhan menjelaskan para pelaku kerap membungkusnya sebagai cost politik, misalnya untuk biaya saksi, survei atau yang lain.
Sedangkan dalam regulasi saat ini, lanjut Abhan, tidak ada parameter yang jelas antara cost politik dengan money politic atau politik uang. Hal ini kemudian menjadi celah untuk melakukan transaksi dalam proses pemilu.
“Misalnya, terkait money politic, kontestan bisa saja menyebut ini bukan money politic, ini biaya untuk survei atau saksi. Ini saya kira di regulasi harus diperjelas biar tidak menjadikan multitafsir dalam aplikasi di lapangan,” jelas Abhan.
Peran Bawaslu
Abhan menjelaskan salah satu tugas dari Bawaslu adalah mencegah terjadinya praktik politik uang. Dalam hal ini, Bawaslu tidak sendirian, tetapi melibatkan banyak stakeholder, seperti kelompok masyarakat dan tokoh agama.
Ia mengungkapkan bahwa pencegahan politik uang ini biasanya disampaikan dalam bentuk sosialisasi dan pendidikan politik.
“Ketika Pemilu dicederai oleh proses-proses itu (politik uang), maka lima tahun ke depan bagaimana mungkin si pemenang kontestasi ini bisa membawa kemajuan, kalau tadi ia ada beban cost yang mahal. Maka ini yang harus kita cerahkan,” tegas Abhan.
Abhan mengatakan sanksi politik uang sebenarnya sudah jelas diatur dalam UU Pilkada. Ia menjelaskan pemberi dan penerima sama-sama bisa kena hukum pidana. Tetapi, dalam UU Pemilu, yang dihukum hanya yang memberi saja.
Menurut Abhan, sanksi pidana itu kurang memberi efek jera. Yang lebih efektif adalah sanksi administratif, misalnya didiskualifikasi.
“Sebetulnya dari pengalaman kami memang efek jeranya kurang menggigit. Jadi sebetulnya lebih baik regulasi itu sanksinya lebih banyak administratif, dan yang sanksi administratif yang paling ditakutkan itu ya didiskualifikasi,” kata Abhan.
Perbaikan Kualitas Partai Politik
Untuk memperbaiki iklim berdemokrasi di Indonesia, Abhan mendorong adanya perbaikan kualitas dari partai politik. Salah satu caranya adalah mendorong orang-orang dengan idealisme yang baik masuk ke partai politik.
Abhan menjelaskan bahwa kewenangan partai politik di Indonesia ini luar biasa besar. Tidak ada lembaga di negara ini yang dibentuk tanpa partai politik.
“Bahkan penyelenggara Pemilu, seperti KPU, Bawaslu, dan DKPP, pada akhirnya penentunya kan ruang-ruang politik, di Fit and Proper Test itu kan,” kata Abhan.
Maka, dengan hadirnya orang-orang dengan idealisme yang baik di partai politik ini diharapkan akan mampu sedikit demi sedikit menghilangkan polusi di tubuh partai, seperti praktik politik yang transaksional dan korupsi.
Selain mendorong orang-orang baik, perbaikan kualitas partai politik juga melalui pembiayaan operasional partai yang ditanggung oleh negara. Hal ini tentunya harus diimbangi dengan pengawasan yang ketat.
Dengan adanya pembiayaan dari negara, maka hal ini akan mempersempit adanya ruang-ruang transaksional.
“Jadi nanti uang yang katanya untuk saksi atau survei dan yang lainnya tidak ada lagi,” ungkap Abhan.
Menuju Demokrasi yang Substantif
Proses demokrasi di Indonesia belum menunjukkan proses demokrasi yang substantif.
Pemilu secara langsung sebagai parameter utama masih banyak permasalahan yang berdampak terhadap kualitas kepemimpinan selama lima tahun pasca Pemilu.
Abhan menjelaskan demokrasi yang substantif adalah proses demokrasi yang dapat mengantarkan keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Untuk mencapai demokrasi yang substantif itu, menurut Abhan, langkah pertama yang dilakukan adalah dengan memperbaiki kualitas Pemilu.
“Untuk sampai pada demokrasi yang substantif adalah dari proses yang kredibel tentu ya. Misalnya satu hal bagaimana bahwa dalam proses pemilu jangan dinodai dengan politik uang, ujaran kebencian dalam kampanye, politisasi SARA, kemudian jangan sampai terjadi abuse of power, manakala ada kontestasi ada petahana,” jelas Abhan.
Untuk mewujudkan Pemilu yang berkualitas ini, dibutuhkan dukungan banyak pihak, mulai dari penyelenggara, peserta dan pemilih. (tor)