DEPOK – Jaksa Agung St Burhanudin mengapresiasi webinar yang dilaksanakan Kejaksaan Negeri Depok yang pelaksananya berkoloborasi bersama Fakultas Hukum hukum Universitas Indonesia yang dilaksanakan di Balai Sidang Djokosoetono pada Sabtu 16 Juli 2022 dalam rangka Hari Bakti adhyaksatahun 2022 yang mengusung tema “Diskusi bersama Praktisi “: Restorasi justice apakah solutif?
Saya selaku Pribadi dan pimpinan mengapresiasi acara diskusi ini karna merupakah contoh sinergi kolaborasi yang baik antara dunia akademik dan dunia praktisi serta pengambilan tema yang update terkait kebijakan penegakan hukum ,ungkap Prof. Dr. H. ST. Burhanuddin,
Jaksa agung menambahkan materi yang diskusi terkait kebijakan pelaksanaan penegakan hukum dengan pendekatan Restorasi justice yang belakangan ini dijalankan oleh kejaksaan mendapat perhatian dunia pendidik dan praktisi baik itu di level nasional maupun internasional salah satunya pada Mei 2022 beberapa organisasi internasional memberikan apresiasi atas pendekatan keadilan yang dijalankan oleh kejaksaan dan saat ini kami sampaikan sudah Ada 1334 Perkara yang disetujui diselesaikan secara Restorasi justice dari total 1450 yang diajukan ungkap Burhanudin.
Jaksa Agung mengatakan, tidak semua permohonan restorative justice dikabulkan. Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat dilakukan restorative justice.
Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dipaparkan ST Burhanudin dilakukan berdasarkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 memperhatikan pertimbangan jaksa dengan memperhatikan subjek, objek, kategori dan ancaman, kemudian latar belakang terjadinya dilakukannya tindak pidana.
Jaksa agung berpesan selaku keynote speaker agar kegiatan webinar antara dunia Pendidikan dan praktisi terus konsisten dilakukan karena kerjasam ini dapat menghadirkan pemikiran sumbangsihdalam pembangunan hukum Indonesia tutup Burhan
Webinar Dengan tema “Diskusi bersama Praktisi “: Restorasi justice apakah solutif?
Menghadirkan Narasumber Dari Praktisi antara lain Kepala Kejaksaan tinggi jawa barat Asep Nana Muya ,Advokat Ahmad Maulana dari kantor hukum patner asegaf Hamzah serta akademisi dkepala bidang studi hukum acara FH Junaidi serta dihadiri Mia Banulita selaku kepala kejaksaan Negeri depok Beserta jajaran dan Puluhan Mahasiswa Fakultas Hukum universitas Indonesia serta Praktisi
Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Asep N Mulyana dalam paparanya mengatakan, berbagai problematika hukum yang terjadi saat ini menimbulkan adanya legal justice effect. Hal ini, menurutnya bakal berdampak pada sejumlah hal, salah satunya adalah lembaga pemasyarakatan atau Lapas menjadi over kapasitas.
“Di Jawa Barat sendiri adanya permasalahan over capacity di Lapas serta adanya anggapan bahwa penjara menjadi school of crime,” katanya saat menjadi salah satu pembicara dalam diskusi yang diselenggaran Kejari Depok dan UI yang digelar secara daring pada Sabtu, 16 Juli 2022.
Selain itu, dalam diskusi bertajuk Restorative Justice, Apakah Solutif? Asep N Mulyana juga mengungkapkan adanya komparasi pemidanaan di Indonesia dan Belanda.
“Berbeda dengan Indonesia, di Belanda telah mengamandemen regulasinya sebanyak 5 kali, lapas sudah bukan menjadi tujuan utama hukuman, tolak ukur yang ada di negara anglo saxon sama seperti di Belanda,” jelas dia.
Selanjutnya, kata Asep N Mulyana, yaitu penegakkan hukum pidana yang bertujuan kepada keadilan, kepastian, kemanfaatan, dan perdamaian.
“Kemudian adanya dua produk utama yang menjadi keunggulan yaitu Peraturan Kejaksaan 15 tahun 2020 serta Pedoman 18 tahun 2021 yang merupakan wujud nyata negara hadir dalam asas kesamaan setiap orang di mata hukum,” tuturnya.
“Akhir kata, pilihan kembali pada para penegak hukum untuk menggunakan filosofi retributif ataukan utilitas,” sambungnya.
Sementara itu, menurut Kepala Bidang Studi Hukum Acara FH UI Junaedi Saibih ada beberapa hal terkait pentingnya restorative justice. Melalui Perja 15 Tahun 2020, hal itu lekat dengan agenda pembangunan nasional dalam RPJMN, yang merupakan salah satu cara perwujudan agenda ini untuk mengedepankan restorative justice.
“Adanya shifting paradigm atau pergeseran dalam paradigma keadilan, dari yang dianggap memberi derita kepada pelaku namun berkembang pada pertengahan menuju keadilan restitutif,” ujarnya.
Ia berpendapat, jaksa sebagai wakil dari pemegang kepentingan korban, sehingga adanya kepentingan restorative yang menempatkan posisi korban yang ikut bersama jaksa untuk menyelesaikan permasalahan.
“Adanya benang merah antara penyelesaian masalah secara privat yang kemudian diambil alih oleh kepentingan hukum publik yang akan datang,” tuturnya.
Selain itu, dijelaskan juga mengenai prospective justice theory yang tidak hanya dilakukan penghukuman tanpa menimbulkan korban baru, namun juga untuk membangun konsep memaafkan.
Terpisah, Partner Assegaf Hamzah & Partners Ahmad Maulana mengungkapkan, pertama-tama, pengertian terkait advokat selaku figur yang memberikan jasa hukum yang mendapatkan panggilan untuk mengetahui hak dan kewajiban hukum yang dimiliki dalam proses peradilan pidana.
“Adanya aspek yang diharapkan masyarakat terhadap suatu kejahatan memiliki pertanyaan tersendiri, kemudian perlunya negara mengambil oerna untuk menghindari adanya main hakim sendiri,” ujarnya.
Ia lantas mengatakan, bahwa bentuk penyelesaian restorative justice bisa melalui ganti rugi, ganti biaya, memperbaiki kerusakan, dan sebagainya. Namun yang jadi pertanyaan publik adalah, apa yang bisa digunakan lembaga penegakan hukum untuk menjawab keresahan masyarakat dari kejahatan yang terjadi.
“Hal ini yang menjadi penting, karena tidak hanya korban yang berhak mendapat perlindungan namun juga pelaku untuk menjaga kestabilan sosial.”